Untuk Pengakuan

Orang-orang itu, bernyanyi ria dengan pundi-pundi raya

Orang-orang itu, berdendang goyang dengan permata menyilaukan

Orang-orang itu, menghentak tanah biar gemericing gelangnya terdengar

Orang-orang itu, berjalan namun goyah, sengaja, biar suteranya berayun-ayun

Orang-orang itu, berkendara ramai mengotori surgawi, biar sungging terus senyumnya





Ironis, saya, mungkin kamu juga adalah kumpulan orang-orang itu

Ingin menambahkan?

Membaca Buku Lagi

Ya, saya membaca buku lagi.

Tapi akankah itu konsisten?

Saya tidak berani berjanji.

Untuk sementara, sekadar killing time.

Tak berani rasanya bermuluk-muluk.

Saya memulainya dengan buku “Robohnya Surau Kami“, kumpulan cerpen karya A. A. Navis yang telah lama terbeli.

Bikin resensinya? We’ll see.

****

Eh, ini juga mulai menulis blog lagi. 😀

perindu [ketigapuluhdua]

pada rindu dia melambai, selamat tinggal! #perindu

pada rindu kita bertanya, bilamana? #perindu

pada rindu aku mengajak, pulanglah! #perindu

pada rindu dia memohon jangan pergi lagi! #perindu

pada rindu mereka bercerita, temu akhirnya berwujud #perindu

 

perindu [ketigapuluhsatu]

Pada mereka yg berkalang kabung, ada rindu di ujung tiap sore

Ia akan menawarkan malam, mengajakmu serta berkasih-kasih dalam temaram

Sejenak lupa akan duka, biar bahagia tetap terpelihara

Bila pagi kembali menjelang, biar rindu itu berlabuh ke seberang

Toh, dia pergi hanya sebentar. Untukkah pulang? Terserah hatimu bagaimana menambatkan

perindu [ketigapuluh]

merajut benang kusut yang tertinggal, sudikah kelabu? #perindu

menjadi sentimental, bukan karena badanmu yang sintal, tapi rajutan masa itu buruk terpintal #perindu

masih banyak yang belum tuntas, mesti selesai lekas #perindu

biar jumawa kita berjumpa, tamat semua nestapa #perindu

Swiss Army Man (2016)

Persahabatan selalu membawa berbagai kemudahan, tak jarang keberuntungan. Banyak yang beranggapan bahwa ikatan tersebut tak perlu membawa isu SARA, jenis kelamin, status apalagi masalah hidup mati. Hidup mati? Absurd, kan? Ide itu yang kemudian diangkat duo sutradara Daniel Kwan dan Daniel Scheinert menjadi tema film absurd paling parah tahun ini (IMO) Swiss Army Man.

Dibuka dengan adegan Hank (Paul Dano) terdampar sendiri di sebuah pulau kecil antah berantah yang entah sudah berapa lama. Berantakan tak terusus nan putus asa, sedikit mengingatkan dengan kondisi Tom Hanks di Cast AwayDi penghujung hidupnya, ia dipertemukan dengan Manny (Daniel Radcliffe), sosok mayat yang tiba-tiba “hidup”. Harapan hidup Hank seketika muncul lagi dan mereka berdua kemudian mencoba untuk mencari jalan pulang.

swissarmyman_cms-638x425

Mungkin terkesan berlebihan ketika menyebut film ini absurd parah. Tapi silahkan potong anu rumput depan rumah saya sampai botak jika salah. Lihat saja bagaimana cara Hank menggunakan pertolongan Manny untuk menyeberang laut, Manny si mayat yang punya kesaktian aneh dan Hank yang sepanjang film berkreasi asyik hanya untuk curhat kepada Manny tentang kehidupan percintaannya.

Two thumbs up untuk duet aktor pemeran utama. Paul Dano selalu berhasil memainkan perannya dengan ciamik di film ini. Coba lihat aktingnya di 12 Years a Slave dan There Will Be Blood. Daniel Radcliffe tak kalah apiknya. Saya belum menonton Now You See Me 2, tapi akting kakunya di The Women in Black tak muncul lagi di sini. Menjadi sosok mayat aneh bin sakti, Daniel berhasil keluar dari bayang-bayang Harry Potter. Walhasil, chemistry keduanya terjalin sangat baik.

So, selamat menonton! 😉

Me and Earl and The Dying Girl (2016)

Dua tahun lalu kita disuguhi dengan The Fault in Our Stars, film tentang sepasang remaja penderita kanker. Diceritakan lebih lanjut bagaimana mereka berupaya menjalani kehidupan (normal) remaja dengan penyakit yang diderita. Tahun ini kemudian, Me and Earl and The Dying Girl, muncul dengan aroma cerita yang hampir sama.

maxresdefault
sumber gambar di sini

Ya, ada remaja yang menderita kanker tapi untungnya tidak sepasang. Greg (Thomas Mann) adalah siswa SMA yang kurang populer. Ia mempunyai sahabat yang “dianggapnya” sebagai co-worker bernama Earl (RJ Cyler). Mereka berdua mempunyai hobi yaitu membuat film pendek yang hanya ditonton oleh mereka sendiri.

Suatu hari, dengan alasan berempati, Greg dipaksa ibunya untuk menelpon teman sekolahnya, Rachel (Olivia Cooke), yang menderita kanker. Dengan setengah hati ia melakukannya. Tak hanya sampai di situ. Ibunya juga menyuruh untuk menemui Rachel dan mencoba untuk berteman lebih jauh.

***

Jika The Fault in Our Stars bernada serius nan romantis, tidak halnya dengan Me and Earl and The Dying Girl. Sama-sama diangkat dari novel terkenal, Me and Earl and The Dying Girl jauh dari kesan serius. Selain karena ceritanya memang lucu, akting para aktornya mendukung untuk itu. Ada kekikukan Greg dan bagaimana lanjutan pertemanannya dengan Rachel. Earl yang afro-amerika dengan logat khasnya. Ayah Greg yang kelihatan kacau. Belum lagi beberapa teman SMA Greg yang memberi warna tersendiri.

Me and Earl and The Dying Girl adalah film yang ringan. Meski bertema remaja bukan berarti teman pembaca yang sudah berumur (hehehehe) tak bisa menikmatinya. Film ini cocok untuk tontonan akhir pekan.

Akurlah sayang…

Jejak Pendidik

Dua anak cukup… untuk saat ini cukup dulu lah…kami akan selalu merindukan masa-masa yang seperti ini,melihat kalian tumbuh di tiap tahap perkembangan akan banyak mengurai cerita penuh makna… cerita yang lucu nan menggemaskan seperti malam ini…lepas magrib ummi akan menidurkan adek,namun si adek malah gelisah di ayun dengan susah payah mengangkat kepalanya hendak duduk…dan tiba2 kakak datang menghampiri dengan segera mencium adeknya,,, senangnya melihat kalian seperti ini…akur dan saling menyayangi…semoga sampai kapanpun kalian akan tetap saling menyayangi seperti ini,,,akur terus yah nak…*abiummi sayang kalian😘😘😘

View original post

Selamat #HariBloggerNasional!

Tepat sembilan tahun yang lalu Muhammad Nuh, Menteri Komunikasi dan Informatika saat itu, menetapkan tanggal 27 Oktober sebagai Hari Blogger Nasional. Lima bulan sebelumnya saya mulai ngeblog. Bangga? Tidak juga. Postingan pertama saya waktu itu cupu asli.

cara-membuat-blog-panduan-membuat-blog-website-profesional1

Alamat blog pertama saya adalah carienaknyasaja.blogpsot.com sebelum bulan September tahun lalu memutuskan untuk berpindah platform di sini. Sebuah keputusan tepat karena blog pertama tadi tak bisa diakses. Lagi pula alamatnya kepanjangan. Entah apa yang ada dipikiran saya sembilan tahun lalu memilih alamat itu, he-he-he.

Dulu di masa awal mulai, jika ada yang bertanya apa alasan atau motivasi nge-blog saya mungkin bingung menjawab. Hampir dipastikan hanya sekedar ikut-ikutan trend saat itu. Dan memang karena diajak teman awalnya.


Berbicara motivasi nge-blog, Roy Suryo pernah mengungkapkan pernyataan kontroverial bahwa, nge-blog itu hanya trend sesaat. Para blogger tentunya bereaksi mencak-mencak keras atas pernyataan itu. Tapi jika dikaitkan dengan perkembangan kekinian, pernyataan beliau ada benarnya juga. Coba, teman-teman blogger tanya ke diri masing-masing, kapan terakhir nge-blog, update postingan atau setidaknya blogwalking. Hayo-hayo?! 

Tak jarang kita temui blogger yang update postingan sekali setahun jika tidak ingin dikatakan tak pernah nge-blog lagi beberapa tahun ini. Saya pribadi hanya berani menargetkan satu bulan satu postingan.

Lantas apa yang menjadi motivasi saya nge-blog sampai sekarang (meski tak seintens dulu)? Quote dari Pramoedya Ananta Toer adalah salah satunya, yaitu

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

Ya, bekerja untuk keabadian. Di samping itu, saat kita menyelesaikan sebuah tulisan ada kepuasan tersendiri yang didapatkan, meski hanya hal remeh. Bukan begitu teman-teman blogger?

Ayo menulis lagi! Ayo nge-blog lagi!

Selamat Hari Blogger Nasional 2016!

***

sumber gambar di sini

Ayah Notskul

Akhir-akhir ini saya dipusingkan dengan Afif, si sulung. Dia mulai cerewet, bertanya tanpa ujung. Menanyakan hal-hal remeh terus menerus, bersambung dan tak jalan berulang-ulang. Belum lagi tingkahnya yang mengernyitkan dahi. Tak jarang membuat emosi saya meletup.

Iya, saya pusing kalau tidak mau dikatakan gerah. Dan tak perlu malu rasanya untuk mengakui itu. Ini pengalaman pertama dan harusnya saya bersyukur. Bersyukur karena diberi kesempatan oleh-Nya menikmati peran menjadi seorang ayah.

Lantas kemudian, apakah harus seperti ini terus menerus. Tentunya tidak. Teman pembaca yang juga seorang ayah pasti menginginkan menjadi orang tua yang baik. Menjadi pendidik, penuntun, pelindung dan teladan bagi buah hati kita.


Menjadi ayah adalah kejadian pengalaman. Tak ada disiplin ilmunya. Tak ada sekolahnya. Yang ada hanyalah referensi-referensi psikologi dan tak jauh dari studi pengalaman. Jadi untuk jadi ayah, ya, rasakan dan pelajari.